BENARKAH KITA PENUNTUT ILMU?
Di masa lalu, ulama sangat banyak dan yang mengajar juga tak kalah banyak. Sebagai contohnya, konon dimasa Abad keenam Hijriyyah ada majelis yang dipimpin oleh salah satu Mujaddid islam yaitu Imam Al-Ghazali. Beliau memimpin majelis pengajian yang diisi oleh para ulama pada masa itu sehingga majelis beliau bergelar “Majelis 300 surban besar”. Sistem pembelajaran yang dianut adalah sama seperti pendidikan pesantren saat ini, salah satunya adalah metode talaqqi, yaitu metode belajar perjumpaan secara langsung antara murid dan guru.
Kita yang mendengar cerita seperti ini, membandingkan dengan kondisi
saat ini, pasti akan membayangkan begitulah kondisi ta'lim ideal yang
seharusnya. Andaikan kita hidup sezaman dengan ulama-ulama besar itu dan
belajar langsung kepada mereka pasti kualitas keilmuan kita akan lebih baik
dari sekarang. Dari sisi ini mungkin benar, tapi ada satu hal
yang terluput oleh kita. Hidup mereka di zaman dulu itu susah. Hidup
mereka tidak enak. Banyak di antara ulama dan pelajar itu hidup miskin. Saking
miskinnya makan makanan yang layak saja sulit.
Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari bercerita bahwa
selama masa belajarnya di Azhar beliau sering mengalami kelaparan.
Sampai-sampai karena tidak adanya makanan, beliau mengumpulkan sisa-sisa kulit
semangka di sekitar tempat wuduk kemudian beliau basuh dan beliau makan. Dan
itu beliau alami selama bertahun-tahun.
Murid beliau Imam Ibnu Hajar tidak jauh berbeda, Ibnu Hajar bercerita,
"Di Al-Azhar aku menderita karena rasa lapar yang tidak akan sanggup
ditahan oleh manusia pada umumnya kalau bukan karena pertolongan Allah. Lebih kurang 4 tahun aku belajar di sana tidak
pernah sekalipun aku makan daging. Kecuali pada satu malam, kami diundang pergi
makan, yang ternyata adalah daging yang dibakar. Kami tunggu hingga gelapnya
malam. Tapi ternyata dagingnya kering seperti daging yang tidak masak. Makan
satu suap pun aku tak sanggup".
Semiskin-miskinnya pelajar sekarang, kita tidak pernah mendengar ada
yang mencari sisa-sisa kulit semangka untuk dimakan. Kita juga tidak pernah
mendengar ada pelajar yang menderita karena lapar. Kalau lapar pasti pernah.
Tapi sampai menderita karena lapar? Kita sekarang kalaupun tidak ada uang masih
bisa ngutang sama kawan. Kalau untuk makan pasti ada yang membantu. Meskipun
makan secara sederhana, makan masih terasa enak. Sesusahnya pelajar zaman
sekarang masih ada uang untuk beli paket internet.
Ironisnya, kita sering menjadikan susahnya hidup sebagai alasan mengapa
kita tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Nyatanya yang ada itu bukan karena
hidup susah, tapi karena kita saja yang pemalas. Kita para pelajar terlalu
manja. "Nantilah kalau saya dapat kemudahan baru belajar
sungguh-sungguh". Kita cuma mencari-cari alasan menutupi kemalasan kita
dalam belajar. Sekian banyak waktu kosong dalam sehari berapa jam yang kita
gunakan untuk belajar? Atau mungkin seminggu penuh tidak menyentuh kitab kita
tidak merasakan apa-apa?
Para ulama di zaman dulu menjalani hidup yang lebih susah dari kebanyakan
kita, dan itu tidak mencegah mereka tetap gigih menuntut ilmu. Bayangkanlah sesaat kalau kita yang berada di
posisi mereka. Menjalani hidup seperti kondisi kehidupan mereka. Mungkin dari
awal kita sudah langsung banting setir. Nggak kuat
Intinya, untuk belajar itu memang mesti berkorban. Kalau mau jadi
penuntut ilmu, jangan tunggu jadi kaya raya dulu baru belajar. Kalau kita lebih
bersyukur, sebetulnya nikmat dan kelapangan yang masing-masing kita miliki
sekarang sudah amat sangat banyak. Luangkanlah waktu untuk belajar. Mulailah
dari sekarang.
Posting Komentar untuk "BENARKAH KITA PENUNTUT ILMU?"