MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEURSHIP UNTUK KAUM SARUNGAN
Santri dikenal sebagai
orang yang memiliki sifat mandiri dalam menjalani kehidupan di pesantren.
Mereka jauh dari keluarga, sehingga semuanya dikerjakan sendiri di pesantren.
Santri juga merupakan sosok yang berani
mengambil resiko. Ia meninggalkan kenyamanan yang ada di kampung halamannya dan
tinggal di pondik pesantren dengan fasilitasnya seadanya.
Dua sifat di atas adalah
sifat dasar daripada seorang entrepreneur atau pengusaha. Jika memang seperti
itu, sebetulnya santri sudah memiliki modal awal untuk menjadi seorang
entrepreneur, tapi saat kita observasi lapangan, tidak banyak dari mereka yang
berkecimpung dalam dunia entrepreneur.
Data tahun 2023
menyebutkan bahwa jumlah santri aktif atau yang masih belajar di pondok
pesantren adalah 4,08 juta. Jika dikalkulasikan dengan mereka yang sudah alumni, pondok pesantren dan santri
yang tidak terdaftar di Kemenag, tentu
jumlahnya puluhan juta. Setidaknya ada sekitar 39 ribu pesantren di Indonesia
sebagaimana yang tercatat oleh Kementerian Agama RI.
Sebuah jumlah yang tidak
sedikit, andaikan saja semuanya – atau setengahnya - menjadi seorang
entrepreneur maka santri dan pesantren Insya Allah bisa saja lebih makmur. Akan
tetapi, sifat dasar santri yang telah disebutkan di atas sebagai bekal dasar
untuk menjadi seorang entrepreneurship ini tidak berbanding lurus dengan kegiatan
yang ditekuni. Mungkin lebih banyak santri yang masuk dunia dakwah dan belajar
mengajar daripada dunia entrepreneurship. Mungkin tidak sampai 20 persen santri yang menjadi
seorang entreprneur.
Ada beberapa faktor
penyebab banyak santri yang tidak berkecimpung dalam dunia entreoreneur.
Pertama, karena ada asumsi bahwa entrepreneur atau dagang itu bersifat duniawi.
Sehingga timbul doktrin bahwa dunia dagang dapat menghambatnya untuk mencapai
dunia ukhrawi.
Kedua, di dalam dunia
entrepreneur, yang dominan itu bukan pengetahuan, namun insting yang berasal
dari interaksi sosial di dalam suatu kelompok kemudian bisa beradaptasi. Jika
interaksi sosialnya dipenuhi dengan hal-hal yang berkaitan dengan entrepeneur,
maka ia akan memiliki insting menjadi seorang entrepeneur.
Di pesantren tidak
diciptakan tradisi atau budaya menjadi seorang entrepeneur. Ketika keluar
pesantren, maka mereka lebih cenderung terjun ke sektor-sektor keagamaan
sebagaimana yang ditekankan dalam dunia pesantren. Di pesantren, seorang santri
dilatih membaca kitab kuning, wiridan, dan pidato. Sehingga insting yang mereka
miliki cenderung ke arah keagamaan.
Kegiatan-kegiatan
tersebut harus memiliki pondasi, yaitu ekonomi. Karena segala aktifitas tidak
bisa lepas dari ekonomi. Saat santri boyong atau tidak lagi tinggal di
pesantren serta tidak memiliki insting untuk mencari nafkah, maka mereka akan
terkena mental shock.
Oleh karena itu,
erntrepreneur harus menjadi kurikulum utama agar lulusan pesantren memiliki
kompetensi untuk pemberdayaan ekonomi. Hal itu bisa dimulai dengan membangun
suatu kebiasaan dalam berbagai konsep, seperti aplikasi langsung atau dibangun
sekolahan kejuruan di pesantren. Membangun pengetahuan dan keterampilan itu
harus sama dan berbanding lurus. Bukan kaya pengetahuan, namun minim keterampilan.
Hal ini membuat tidak sedikit pesantren yang ada menyelenggarakan workshop atau
seminar dengan tema entrepreneurship.
Entrepreneur bukan hanya
berbicara tentang ilmu pengetahuan. Namun tentang bagaimana cara mengolah skill
marketing dari produsen untuk konsumen. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan
bagaimana membuat orang mulai mencoba terjun untuk menjadi entrepreneur.
Kunci pertama untuk tahapan
pertama menjadi seorang entrepreneur adalah memulai, bukan pengetahuan. Meski
tidak memiliki pengetahuan, entrepreneurship bisa jalan. Hal ini juga sudah
dipraktikkan di pesantren. Jika kita survei, rata-rata kebanyakan santri yang
mondok pesantren karena disuruh orang tuanya. Para santri, awalnya tidak ingin
dan tidak betah untuk mondok karena beberapa alasan dan faktor yang berbeda.
Dalam jangka waktu satu atau dua tahun, rasa tidak betah akan hilang dengan
sendirinya. Hal ini menjadi tanda tanya mengapa praktik ini tidak
disubsitusikan dalam membangun persepsi tentang entrepreneurship. Padahal
memutuskan untuk memulai itu jauh lebih penting daripada pengetahuan yang
banyak namun tidak dimulai-mulai. Semakin banyak pengetahuan, maka ia akan
semakin takut untuk memulai. Pengetahuannya bisa didapat setelah memulai.
Dari segi mental, sebetulnya
santri itu adalah risk taker (pengambil resiko). Anak lulusan sekolah
dasar kemudian nyantri di pesantren. Otomatis dia harus mengontrol sendiri
semua kebutuhannya. Artinya, karakter independensi mental itu dibangun di
pesantren. Ini yang menjadi karakter seorang entrepreneur. Pesantren sudah
membangun mentalitas menjadi seorang entrepreneur, namun tidak
disalurkan. Semuanya sudah ada di pesantren seperti risk taker dan independensi.
Hal ini sepatutnya dibangun dan dikembangkan.
Etos kewirausahaan
pesantren terbentuk dengan merujuk pada ajaran Islam sebagai pijakan dan kata
kunci. Al-Quran dan Hadits mengandung banyak doktrin maupun keteladanan untuk
melakukan kegiatan berwirausaha yang baik. Oleh karenanya, merupakan
keniscayaan bagi pesantren untuk dapat melahirkan entrepreneurship yang dapat
mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri yang
memegang teguh nilai-nilai islami.
Nabi Muhammad SAW sudah
menjadi pengembala saat usianya masih kanak-kanak. Kemudian menjadi pedagang,
pengusaha, hingga ujungnya menjadi Rasul. Inilah tahapan Nabi Muhammad SAW
menjadi Entrepreneur dan Rasul sejati. Oleh karena itu, pada dasarnya para
sahabat berdakwah dengan menggunakan jalur berdagang.
Upaya mengembangkan
entrepreneurship di pendidikan pesantren merupakan suatu keniscayaan.
Pendidikan pesantren dituntut untuk mampu melahirkan individu-individu yang
memiliki kreativitas, berani, dan mampu belajar sepanjang hayat. Dengan
tumbuhnya jiwa entrepreneurship pada kaum santri, mereka tidak lagi terfokus
menjadi generasi pencari kerja semata yang justru menghasilkan banyak
pengangguran terdidik “yang bersarung”. Pendidikan entrepreneurship di
pesantren diharapkan mampu memberi bekal agar lulusannya menjadi kreatif
melihat peluang berusaha dan mengatasi pelbagai permasalahan yang dihadapinya.
Santri dididik untuk
menjadi seorang yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya. Ini semestinya
menjadi modal yang berharga bagi santri karena orang yang memiliki pengaruh itu
lebih mudah mengatur dan menjalankan suatu bisnis.
Para Ulama, pimpinan
pesantren, dan ustadz yang notabene-nya adalah alumni pesantren juga ada yang mengembangkan
wirausaha pertanian, perkebunan, dan berdagang. Dalam sektor perekonomian, mereka
berdagang dan membangun basis-basis ekonomi di kalangan umat Islam sendiri. Sehingga
banyak kita menemukan pesantren yang maju secara finansial karena pengelolaan
dana yang stabil yang berasal dari hasil perekonomian yang stabil cukup baik.
Saat ini kita kehilangan
orientasi dalam dunia entrepreneur akibat gerakan orientalis seperti Snouck
Hurgronje. Ia menanamkan di kalangan santri bahwa santri semestinya meneladani
kesalehan ritual daripada sahabat dan ulama-ulama terdahulu, bukan jiwa
entrepreneurship atau pengusaha. Sehingga yang diteladani hanya ritualistik
para sahabat saja.
Saat ini, kita hidup di
dalam dunia ekonomi. Dengan demikian, seharusnya kita meneladani sahabat yang
entrepreneur dan kaya seperti Ustman bin Affan, Abu Bakar As Siddiq,
Abdurrahman bin Auf, dan lainnya.
Di kalangan santri ada
dogma bahwa banyak harta menyebabkan mudahnya orang untuk cinta dunia atau hubbud
dunya. Dunia ini adalah jembatan menuju akhirat. Kalau jembatannya
tidak dibangun, bagaimana seseorang bisa melewatinya? Maka, kita harus menjadi santri
dan berparadigma santri ala Rasulullah, para sahabat, dan tabi’ tabiin.
Posting Komentar untuk "MENUMBUHKAN JIWA ENTREPRENEURSHIP UNTUK KAUM SARUNGAN"