Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SUPAYA JADI KUAT

        


Malam itu habis magrib hujan sudah reda setelah 3 jam tak henti-henti. Akhir-akhir ini tembakan air langit sering turun padahal masih musim panas. Anak-anak kodok bangkong saling  bersahutan pasca hujan. Ribut sekali. Induk mereka ikut bersahutan menenangkan anaknya, mungkin mengatakan “sudahlah, nak. Usah kau harap hujan turun lagi. Senja tak pernah ingkar janji tuk kembali”

        Aku bersiap-siap untuk pergi ke gym atas perintah pamanku Elkan untuk membentuk fisik dan badan supaya bisa masuk TNI seperti pamanku. Paman El, begitu biasa beliau dipanggil. Tetapi yang terdengar di telingaku adalah “hell” (yang dalam bahasa inggris artinya neraka) maka aku lebih suka memanggilnya paman neraka (tentu saja aku tidak memanggilnya secara langsung, bisa mati aku). 

        Paman neraka merupakan adik kandung ibuku sekaligus menjadi pengganti ayah yang meninggal saat aku SMP. Paman    neraka sangat keras didikannya, sangat mudah tensinya naik, aku salah sedikit langsung nyerocos tanpa henti. Bosan aku. Berbeda sekali dengan ibuku kakak kandungnya yang lemah lembut. Mungkin watak itulah yang menyebabkan paman neraka susah mendapatkan jodoh, padahal umurnya hampir berkepala tiga.

        Dengan malas aku memasuki gym, tapi supaya terhindar dari omelan paman aku langsung tancap gas. Aku duduk di sofa dekat resepsionis gym untuk mengisi lembaran aplikasi. Sesekali melihat ke arah orang-orang yang datang ke gym ini. Ada ibu-ibu nge-gym pakai make-up tebal, ada bapak-bapak gendut, tapi paling banyak justru cowok muda berbadan bagus. Perut mereka sixpack, berbeda denganku yang hanya onepack yang maju ke depan. Di gym terlalu banyak cowok narsis, mereka biasanya berbadan kekar sambil mengangkat barbel mereka memandang cermin dan berkata untuk dirinya sendiri “mmmm……kamu ganteng. Iya….kamu ganteng”

        Selesai memberi formulir yang telah kuisi, aku minta dipandu oleh personal trainer yaitu orang yang akan melatih kita untuk gym. Personal trainer-ku adalah seorang lelaki berbadan kekar berumur 30-an. Dia memperkenalkan dirinya bernama Firman. 

        “halo, bang Firman” aku menjabat tangannya.

“yuk, kita mulai” ujarnya.

Dia menimbang berat badanku lalu mencatatnya. Aku mulai pemanasan menggunakan elliptical machine  selama 15 menit, lalu berlanjut angkat beban. Setiap angkat barbel, wajahku seperti menahan BAB tersumbat karena kotoran terlalu besar dank eras seperti rudal. “orang sini semua ototnya kok besar-besar ya, bang?” tanyaku memecah ketegangan.

        “kebanyakan mereka minum steroid, obat biar ototnya besar. Walaupun ada juga ototnya bagus secara alami karena sering nge-gym. Tapi saya sarankan jangan pakai steroid”

“Kenapa”

“menurut kabar beredar bisa berefek kena impoten” kata bang Firman.

Aku manggut-manggut. Kami berlanjut latihan lainnya. Aku mencoba bench press, sit up dengan bola, lalu diakhiri dengan latihan menggunakan TRX. Selanjutnya aku janjian pada bang Firman untuk kembali pekan depan untuk nge-gym lagi supaya paman neraka berhenti mengomel.

        Saat aku masuk ke kamar ganti, Hp-ku berdering. Ternyata, dia menelepon. Aku mengangkatnya “Danil. Besok siang kita ketemuan, ya. Di PIYOH RESTO. Kita sudah lama gak ketemuan. Aku ingin bicara. penting” Dia langsung to the point . tidak ada basa basi seperti biasanya. 

“iya, baik. Besok aku kesana” kujawab. Dan ‘klik’ dia langsung menutupnya.

Aku menghela napas panjang. Ini tidak seperti biasanya, dia  tidak seperti yang kukenal lagi. Yang kumaksud dia adalah pacarku Nadia. Kami telah berhubungan sejak kelas 1 SMA. Aku berkenalan dengannya saat pulang sekolah di dalam angkot yang ternyata dia bersebelahan dengan kelasku. Wajahnya tak jauh berbeda dengan Syifa Hadju, artis muda yang namanya tenar di ranah perfilm-an Indonesia. Rumahku dengan rumahnya hanya berbeda kecamatan. Tak butuh waktu lama aku jatuh hati kepadanya dan dia pun begitu. Mungkin sering berjumpa di angkot membuat benih cinta kami tumbuh, mulai dari berbiji, berdaun, berbunga, kemudian tumbuh menjadi buah cinta yang sangat manis. 

        Pahit getir selama 3 tahun di SMA semuanya kami jalani dengan lapang dada. Aku sangat menjaganya dari hal yang tidak-tidak karena aku sangat menyayanginya. Teman-teman seangkatan sudah menyatakan kami adalah pasangan yang serasi dan mereka salut kepadaku karena aku sangat menjaganya dari hal yang tidak-tidak. Kami berpacaran berbeda dari yang lain. Ranah perbucinan kami ada batasannya dengan menjaga etika tertentu (dalam artian tidak sampai menyediakan kantong plastik untuk muntah kalau ada yang melihat perbucinan). Sebagai contoh teman sekelasku Tono yang kepergok baru berpacaran sama adik kelas. Kami merebut hp-nya dan melihat isi chatnya:


“aku tidur duluan,ya”

“ya udah selamat tidur,ya”

“oke, kamu tutup deh telponnya”

“kamu duluan”

“iiihh….kamu aja”

“kamu deh…hihihi”


Begitu terus hingga semua manusia di planet bumi hijrah ke planet Mars. Karena dunia sudah dikuasai oleh mereka berdua.

Namun, hal itu berubah ketika kami tamat SMA. Sejak dia masuk kuliah, dia mulai kurang perhatian kepadaku. Dia memilih Universitas Negeri yang tak jauh dari rumahnya sedangkan aku memilih nganggur setahun untuk melatih fisik supaya bisa masuk TNI tahun depan. 

        Dia mulai jarang menelepon apalagi ketemuan. Jawabannya pasti sama. Sibuk pergi kampus. Yang kutahu dari kabar “radio bergigi” (baca:gossip). Dia mulai dekat dengan abang senior di kampus yang satu jurusan dengannya. Kabarnya, dia sering menanyakan info-info tentang keorganisasian di kampus. Aku tidak berpikir terlalu jauh tentang itu. Aku sangat yakin dia pun begitu walaupun dalam hatiku timbul perasaan tidak enak. Hal itu berlanjut 3 bulan hingga dia menelepon setelah aku gym malam itu. 

        Esoknya aku sampai di resto itu. Kami sering memilih resto ini sebagai tempat makan dan ketemuan karena emang makanannya enak dan pelayanan mereka ramah-ramah (berbeda 180 derajat dengan KAREN’S DINNER, pelayannya ngajak adu mekanik sama pelanggannya). Mungkin inilah letak janggalnya bagiku, terkadang terlalu ramah jadi kelihatan aneh. Dulu pernah aku datang pertama kali sendirian ke resto ini untuk makan siang, pelayannya yang perempuan membuka pintu dan senyum melebihi lebar mukanya. 

“selamat datang” ucapnya ramah, pelan, dan lemah gemulai.

Aku hanya membalas senyuman kemudian kucari tempat duduk dan pelayan perempuan yang lain menghampiriku dan berkata sumringah “sudah nyaman duduknya?”

        “sudah” ucapku

“silahkan pesanannya” katanya masih dengan senyum ‘jokernya’

“cheese burger dan intelkom (indomie telur komplit) satu” 

“pilihan yang tepat sekali” jawabnya sambil mengacungkan dua jempol.

Hening.

“terus saya pesan thai tea”

“pilihan yang tepat sekali”

Hening lagi. Aku heran ini manusia atau robot yang diatur otomatis untuk melayani manusia

“dan segelas air putih satu”

“pilihan yang tepat sekali”

Kembali hening.

        Kayaknya apa pun yang saya katakan akan dijawab dengan respons dan nada bicara yang sama. Untung aku gak bilang “saya mau menghamili anda!” dan dia akan menjawab “pilihan yang tepat sekali!”. Tapi aku urungkan.

“boleh saya angkat menunya?” dia memecah keheningan.

“boleh”

Perlahan dia mengambil menunya kemudian mendekapnya erat seolah itu benda paling berharga di dunia. “Boleh saya tinggalkan meja?”

“boleh” jawabku.

Kalau dilanjutkan kayaknya dia akan bertanya “boleh saya angkat kaki kanan? Boleh saya bernapas? Boleh saya berhenti ngomong ‘boleh’?”

Tapi dia Cuma berkata “nama saya Tia, kalau ada sesuatu tinggal panggil saja” masih dengan senyum ‘jokernya’. Aku hanya mengangguk. Tapi sekarang aku sudah terbiasa menghadapinya. Aku langsung memesan dua nasi uduk dengan bebek goreng, lemon tea, dan matcha favorit Nadia. 

Tak lama Nadia pun datang. Kami duduk ngobrol beberapa saat melepas kangen dan berlanjut hingga makan hidangan masing-masing. Setelah basa-basi beberapa saat dia pun langsung mengeluarkan kata angkernya “ada yang ingin aku omongin sama kamu”

“ngomong apa?” Jantungku berdegup tak karuan.

        “Aku mau kita putus” kata dia singkat, lugas, jelas, tanpa ada benteng sekalipun dari kata-katanya. Bahkan benteng Konstantinopel hancur lebur menahan kata-katanya.

“kok putus?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku kehilangan kata-kata.

“udah hilang aja”

“maksudnya?”

“aku gak tau cara jelasinnya. Pokoknya perasaanku untukmu udah hilang aja” dia menjawab enteng tanpa beban. Begitu mudahnya dia mengatakan begitu setelah tahun-tahun yang telah kami lalui.

        Aku terpaku. Hatiku panas dan bergejolak hebat. Apa yang kurang dengan diriku? Kenapa begitu mudahnya Nadia minta putus setelah beberapa tahun kami berhubungan dan melewati segala aral rintangan? Bagaimana harga diriku sebagai seorang lelaki yang keok hanya dengan kata ‘putus’? aku bisa saja meluapkan emosiku di tempat ini dan menghamburkan segalanya supaya dia tahu bahwa pantang aku direndahkan seperti ini, tapi aku sadar itu bukan tingkah laku orang bijak dan dewasa. Masih dalam keadaan terpana karena tidak keterpercayaan, tanpa kusadari dia langsung meninggalkanku dan berkata “udah, ya. Kita ketemuannya sampai disini saja. Aku pamit dulu. Semuanya biar aku yang bayar”

Semuanya hening. Syifa Hadju-ku hilang.



EPILOG

Putus cinta membuatku malas beraktivitas, kerjaanku di rumah hanya di kamar melongo dan merenungi apa yang kurang dengan diriku? Mengapa begitu mudahnya seorang wanita yang kukenal  meninggalkan pasangannya setelah ketemu yang baru? Aku yakin tak semua wanita begitu tapi yang begitu sudah pasti wanita. Aku sudah tak makan sehat lagi, berat badanku naik 5 kilogram. Aku sudah lama tidak nge-gym, paman neraka berkali-kali mengomeliku melihat fisikku semakin menyedihkan “Danil! Ada apa dengan kau?! Kecewa aku sama kau yang tidak konsisten latihan fisik. Bagaimana kau mau angkat Negara kalau selimut aja berat kau angkat?!” 

        Bang Firman berkali-kali menelepon dan kirim chat. Isi chatnya kebanyakan seperti “kapan kita ketemuan lagi?” atau seperti “udah lama, lho” kalau ibu ambil hp-ku dan membaca chat disitu pasti aku dikira simpanan om-om yang bernama Firman.

Sebulan setelah putus, aku pergi gym lagi. Saat sedang angkat beban aku didatangi oleh bang Firman “udah lama datang gak latihan kemana aja?” dia Tanya.

“biasa,bang. Sibuk. Maklumlah.” Jawabku.

“yaudah bukan urusanku, kita pemanasan dulu.”

Tanpa motivasi, nge-gym jadi kegiatan membosankan. Itu-itu aja. Kaki bergerak, beban diangkat, tangan diayunkan, ulangi lagi. Lalu pencerahan datang. Aku merenunginya. Sama seperti gym atau olahraga, kita akan bosan kalau membuat hal yang sama terus menerus. Begitu juga pasangan, masalahnya bukan mencari orang baru, tapi memperjuangkan dan mempertahankan yang nyaman. Hati dan pikiranku mulai bisa menerima segalanya. Aku sudah bisa move on.

        Beban demi beban kuangkat di gym malam itu. Semakin besar beban semakin rusak otot dan akhirnya semakin besar dan kuat otot tumbuh kembali. Sambil memandangi diriku di cermin, aku bertanya dalam hati “perlu berapa kali ditinggali agar kita kuat menghadapi patah hati?”


Posting Komentar untuk "SUPAYA JADI KUAT"