BERKAH PEDULI (PART 2)
Pagi pukul sebelas. Gerimis
membungkus atap bangunan. Suasana halaman Masjid Tgk Dianjong yang luas tampak
sepi, hanya segelintir orang yang berada di Masjid. Usai Shalat Dhuha, aku
berziarah ke Makam salah seorang Ulama Besar aceh tepat bersebelahan di samping
masjid. Nama lengkapnya Habib Abubakar bin Husein Bilfaqih atau dikenal dengan
nama Tgk Dianjong. Beliau merupakan salah satu keturunan Rasulullah dari jalur
Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Makam istrinya Syarifah Fathimah binti
Sayyid Abdurrahman Al-Aidid bersebelahan dengan makam beliau.
Masjid Tgk Dianjong yang
terletak di desa Peulanggahan merupakan salah satu masjid tertua di aceh.
Masjid ini didirikan langsung oleh Tgk Dianjong yang merupakan ulama besar asal
Hadramaut,Yaman yang mengembara ke Asia Tenggara dan memilih menetap di Aceh
hingga akhir hayat untuk menyebarkan agama islam. Beliau bergelar “dianjong”
yang artinya disanjung atau dimuliakan disebabkan kealiman beliau sehingga
dimuliakan oleh masyarakat dan Sultan yanag berkuasa pada masa itu. Dalam versi
lain, beliau bergelar “dianjong” karena banyaknya santri beliau dan orang yang
ingin manasik haji duduk di ‘anjong’ (serambi) untuk mendengar cucuran ilmu
dari beliau, sehingga ada yang berspekulasi aceh digelar ‘Serambi Mekkah’
karena banyaknya calon jamaah haji yang bermanasik kepada beliau sebelum
berangkat ke tanah suci.
Aku bertawassul kepada
beliau semoga dimudahkan segala urusan dan supaya Allah menyelamatkanku,
orang-orang terdekatku, dan seluruh kaum Muslimin di dunia dan Akhirat dengan
berkah kemuliaan beliau. Aku membayangkan seolah-olah aku berjumpa dengan
beliau secara langsung dan masuk di antara salah satu murid beliau yang duduk
di ‘anjongan’.
Tak terasa, tiga jam yang
lalu aku mendatangi rumah Salwa yang tak jauh dari masjid Tgk Dianjong. Semalam
setelah dia meneleponku untuk ‘menjemputnya’, aku memantapkan diri untuk
melangkahkan kaki ke rumahnya - yang sebelumnya ia mengirimkan alamat rumahnya
lewat share LOC.
Saat sampai di rumahnya,
aku merasa ada yang ganjil. Apa ini serius? Aku langsung melamar anak orang
tanpa mikir panjang dan minta musyawarah dengan orang tua atau orang terdekat.
Tapi aku sudah terlanjur berdiri di depan pintu rumahnya. Jika aku kembali,
kemana kubawa harga diri seorang lelaki? Aku teringat petuah Buya Hamka “Hidup lelaki itu berjuang, kalau perahu
telah dikayuh, dia tak boleh surut, biarkan layar robek, biarkan kemudi patah,
itu lebih mulia daripada balik haluan pulang”. Baiklah, aku hilangkan
rasa keraguan dan memohon kepada Allah semoga diberi kemudahan segala urusan.
Saat kuucapkan salam dan terdengar jawaban salam dari
dalam, pintu terbuka. Yang pertama kali kujumpai adalah kakeknya, istrinya atau
neneknya Salwa sudah meninggal lima tahun yang lalu. Aku langsung dipersilahkan
masuk, aku tidak melihat Salwa dimana tetapi aku yakin dia ada dibalik tirai untuk
mendengar percakapan di ruang tamu dengan hati berdebar seperti Anna
Althafunnisa di film ‘Ketika Cinta Bertasbih’ saat mendengar percakapan Khairul
Azzam – yang akan menjadi suaminya - dengan abahnya. Saat aku bertemu dengan
ayahnya Salwa, Pak Jafar. Tentu saja beliau kaget bertemu denganku, melihat
sosok penyelamatnya beberapa hari yang lalu. Setelah basa-basi beberapa saat
menanyakan aktivitas masing-masing, aku langsung mengutarakan tujuan utama bersilaturrahmi
ke rumah dan langsung kuutarakan semuanya tanpa kututupi tentang diriku,
tentang Salwa, hubunganku dengannya, dan keseriusan kami ingin membina rumah
tangga.
Di ujung percakapanku, Pak Jafar berkata “Sungguh sebuah
kehormatan anda datang kemari untuk bersilaturrahmi di rumah kami dan langsung
mengutarakan lamaran untuk anak kami Salwa Humaira. Kami sangat terharu karena
itu berarti anda menghargai anak kami. Kami tak menyangka dia sudah besar semenjak
kami mendidiknya dari kecil dan sekarang sudah siap untuk berumah tangga dan
dilamar oleh orang yang cukup ilmu, lulusan pesantren, kenyang pengalaman, dan
saya yakin bisa menjaga anak saya lahir batin. Bukannya saya menolak. Tetapi apa
tidak sebaiknya Salwa memfokuskan pendidikannya dulu sampai tamat sehingga ia tak
terganggu belajarnya disebabkan melayani suami? Dan jika ditelisik ia masih
terlalu labil untuk menikah apalagi baru masuk bangku kuliah.”
“Begini pak. Mungkin pernyataan bapak ada benarnya juga,
tetapi apakah ada solusi lain supaya kami masih bisa bersama sampai ke jenjang
pernikahan nantinya Insya Allah. Dengan kata lain Salwa tidak akan dilamar oleh
orang lain ke depan”. Aku berusaha menyanggah.
“Sebenarnya sudah ada yang melamar Salwa sebelum kamu dan
saya mengutarakan hal yang sama untuk menolak pinangan mereka tetapi khusus
untukmu jujur saja susah kami menolaknya
karena kami yakin kamu adalah pria yang tepat bagi Salwa dibanding pelamar
sebelumnya”. Jawab pak Jafar.
“Jadi menurut bapak yang baiknya bagaimana?”. Tanyaku
memastikan.
Pak Jafar terdiam agak lama memikirkan sesuatu. Dia
meminta izin kebelakang sebentar untuk menelepon ibunya Salwa.
Aku memasrahkan semuanya kepada Allah apa yang akan
terjadi ke depan. Aku cemas bagaimana jika nasibku seperti pelamar sebelumnya. Walaupun
aku diberi hak khusus tetapi tidak menutup kemungkinan aku akan tertolak juga. Apapun
itu, orang tua tetap mengharapkan apa yang terbaik bagi anaknya daripada apapun
yang ada.
Aku menimbang kenapa tidak dari tadi saja aku membatalkan
masuk ke rumahnya. Memang sudah menjadi kebiasaanku ceroboh seperti ini,
langsung berbuat tanpa memikirkan matang-matang kemungkinan apa yang akan
terjadi ke depan. Aku harus menanggung malu di hadapan Salwa karena sudah gagal
menjadi tumpuan harapannya.
Setelah setengah jam lebih menunggu, pak Jafar kembali ke
ruang tamu dengan muka cerah. “Jadi kapan keluarga kita bisa saling
bersilaturrahmi?”
***
BACA JUGA: BERKAH PEDULI (PART 1)
Aku mengemaskan barang untuk pulang ke kampung halaman besok. Aku akan bertemu kedua orang tua membicarakan perjodohanku dengan Salwa. Pak Jafar yang akan kupanggil ‘ayah’ menyetujui lamaranku setelah bermusyawarah bersama ibunya Salwa di Lhokseumawe. Aku akan bertunangan dengan Salwa dalam minggu ini. Sedangkan akad nikah akan dipikirkan ke depan.
Sebelum pulang aku minta izin kepada Pak Ismawan Owner
Toko Tekstil tempat aku bekerja untuk minta izin cuti sekali lagi. “Kemarin itu
saat kecelakaan udah cuti, ini belum sampai sebulan udah minta cuti lagi. Tapi
saya tidak dapat menolak. Mungkin sudah waktunya kamu berjodoh, ya. Kalau saya
menghalangi kamu berarti saya menghalangi takdirmu, ya? Hehehe”
“Terimakasih banyak, pak”. Ucapku.
Besoknya, aku menuju terminal minibus L-300 di Lueng Bata
untuk berangkat pulang. Namun aku lebih memilih naik minibus HIACE yang lebih
nyaman.
Tanpa kuketahui, Salwa mengikutiku hingga ke terminal
untuk mengantarku. Dia memberikan sebuah bingkisan yang isinya entah apa. Dia berkata
“Berikan ini untuk orang tua di kampung”.
Saat aku hendak melangkah masuk ke dalam mobil, dia malah
mendekatiku seperti anak kecil yang mengejar ayahnya supaya mereka tidak
berpisah. Aku membalikkan badan, kemudian memandang wajahnya yang memesona dan
matanya yang bening yang telah menghiasi memoriku untuk mengingatnya selalu.
Aku ingin sekali memeluknya dan mencium keningnya dengan
mesra untuk pamit pulang, tetapi aku sadar aku belum halal baginya. Kulihat matanya
yang bening berkaca-kaca “Jangan lupa kembali” ucapnya lirih.
Aku hanya mengangguk dan langsung cepat-cepat masuk ke
dalam mobil dan menutup jendelanya. Aku menengadah ke atas supaya air mataku
tidak tumpah. Dasar bodoh! Entah kenapa aku cengeng seperti ini?
Mobil HIACE pelan-pelan bergerak meninggalkan terminal
hingga melewati pintu gerbang sampai sosok Salwa hilang dari pandangan. “Tunggu
Aku Salwa. Gadis bermata beningku.”
TAMAT
Posting Komentar untuk "BERKAH PEDULI (PART 2)"