BERKAH PEDULI
Shalat zuhur baru saja usai di
masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sebagian jamaah keluar dari masjid,
sisanya masih menetap untuk I’tikaf. Di bawah sinar matahari yang terik, aku
duduk melepas penat di bawah payung
raksasa yang terletak di halaman masjid. Payung yang menyerupai payung yang ada
di masjid Nabawi di kota madinah telah menjadi ikon masjid bersejarah di aceh
tersebut. Orang-orang sekitar menjalankan aktivitasnya masing-masing. Ada yang
sedang berselfi, foto prewedding, duduk di bawah payung, dan berbagai aktivitas lainnya.
Masjid Baiturrahman berdiri
gagah menjadi saksi bisu perjuangan rakyat aceh melawan Kolonial Belanda
beberapa abad silam. Membuat jiwa siapapun tergugah untuk mengetahui kisah
perang terlama Nusantara tersebut.
Konon, Jenderal Belanda yaitu Jenderal Kohler menghembuskan nafas terakhirnya
akibat terkena peluru tepat di jantungnya oleh pejuang aceh saat sedang
inspeksi di Masjid Raya Baiturrahman yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda.
Sudah empat tahun aku merantau
ke tanah Kutaraja. Hanya saat lebaran saja aku pulang kampung halaman
yang terletak di pedalaman Aceh bagian Utara. Setelah tamat Madrasah Aliyah di
salah satu Pondok Pesantren di Lhokseumawe, aku
memutuskan untuk mencari kerja mengingat ekonomi keluarga yang tidak memadai.
Teman-teman seangkatan banyak yang melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.
Ada yang di luar daerah atau di dalam daerah, bahkan ada yang di luar negeri,
walau ada juga yang senasib denganku untuk mencari kerja.
Guru-guru dan teman-teman
sempat menyayangkan keputusanku mengingat aku termasuk siswa berprestasi yang
lebih layak melanjutkan pendidikan tinggi. Namun aku berusaha meyakinkan mereka
bahwa kesuksesan tidak dinilai dari bangku kuliah, tetapi sejauh mana dia
berusaha dan berjuang memakan asam garam dunia. Going to the extra miles. Berjuang
di atas rata-rata orang lain. Itulah kunci kesuksesan. Bukankah Bil Gates sang
raja computer yang pernah dinobatkan menjadi orang terkaya di dunia dalam beberapa tahun terakhir - yang akhirnya saat ini dilewati oleh
Elon Musk pemilik Tesla -
tidak pernah menamatkan bangku kuliah? Bahkan ia sempat Drop Out dari
Pendidikan tingginya Harvard
University dan lebih memilih melanjutkan perusahaannya yaitu Microsoft.
Setelah luntang-lanting di
Banda Aceh selama beberapa bulan, akhirnya aku diterima bekerja di salah satu
toko tekstil yang lumayan
maju. Karena kiprahku dalam bekerja sangat bagus dalam beberapa tahun terakhir,
aku diangkat sebagai manajer. Bisa menjadi kebanggaan tersendiri menjadi
manajer dalam usia muda mengingat bawahanku ada yang lebih tua tiga tahun,
empat tahun, bahkan enam tahun.
Saat sedang asyik bersantai,
tiba-tiba seorang gadis berpakaian sopan menghampiriku “Assalamualaikum Akhi.
Maziltum an ta’rifuni?” (Anda masih ingat denganku?)
Aku berusaha mengingat
dengan menatap sekilas gadis cantik tersebut. Mata bening itu……
“waalaikumsalam. Salwa, ya?”
“Aiwah. Alhamdulillah ingat
juga. Akhi Juwaini ngapain ke Banda?”
“Ana sudah lama disini,
semenjak tamat MA ana langsung merantau, Alhamdulillah sekarang sudah dapat
kerja”
“Ana pikir akhi sudah jadi
sarjana di Timur Tengah dan jadi ilmuwan disana”
“hehe…terlalu jauuuuuh.
Nasib yang membuat kita seperti ini. Oya, anti (kamu) kuliah, kan? Udah
semester berapa?”
“Baru semester dua,khi. Oya,
ana duluan ya. Soalnya lagi ada kerjaan. Kapan-kapan kita jumpa lagi. Ilalliqa’
(sampai jumpa). Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam”
Pikiranku
melayang ke masa 4 tahun silam, saat aku masih duduk di kelas 3 Aliyah. Pertama
kali aku berjumpa dengannya saat aku mengajar les privat bahasa arab kelas 3
tsanawiyah menggantikan ustadz Khalid yang berhalangan saat itu. Statusku saat
itu masih santri tapi sudah diprcayakan untuk mengajar. Padahal yang berhak
untuk mengganti adalah guru lain yang berhalangan. “mumpung mau tamat, coba
latihan jadi guru sebelum jadi guru beneran”. Begitu alasan Ustadz Khalid
ketika menyuruhku untuk menggantikannya.
Salwa Humairah. Begitulah nama yang
tertulis di absen saat aku memanggil satu per satu santri putri di kelas. Nama
yang membuatku selalu men-stalking aktivitas dirinya semenjak aku tamat MA
dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari dirinya memasuki tingkat MA hingga
memasuki bangku perkuliahan di UIN Ar-Raniry Fakultas Adab. Ia tak jauh tinggal
dari pesantren yang kumondoki dulu. Tepatnya di kotamadya Lhokseumawe. Ayahnya
seorang kontraktor yang sering mendapat tugas di berbagai daerah. Dia termasuk
salah satu santriwati berprestasi dulunya. Lengkap sudah kualitas dirinya. Saat
kulihat keadaan dirinya, diriku bagai pungguk merindukan bulan. Tak apalah,
men-stalking dirinya sudah cukup bagiku sampai dia benar-benar dapat jodoh yang
tepat. Aku baru pertama kali berjumpa
dengannya kala itu tetapi ingatanku tidak bisa lepas darinya. Yang
mengherankan, dia juga ingat kepadaku dan berani mendekatiku untuk berjumpa
menguak kenangan awal. Kubuang pikiran itu jauh-jauh, mungkin saja dia ingin
menaruh rasa hormat kepadaku sebagai guru yang pernah mengajarinya dulu. Itu
saja.
Tiga minggu kemudian.
Setelah Isya, aku menyisir
tempat makan di sekitar jalan Jambo Tape
untuk mengganjal perut. Sekali-kali kita harus bersikap realistis, tidak makan
makanan di kos selalu. Jika ada rezeki lebih bisalah kita makan yang enak
sekali-kali.
Saat menyesuri jalan, aku
mendengar suara keributan di sebuah gang. Suara beberapa lelaki dewasa yang
sedang bertikai. Tetapi suaranya seperti ada yang tertekan satu pihak dengan
disertai bentakan yang lainnya. “jangan, bang. Saya ingin pulang dengan aman.
Saya lelah bekerja”
“kenapa keras kepala!
Tinggal kasih aja untuk kami selesai masalah”
Aku mencium aroma yang tak
beres. Sepertinya sedang terjadi pemalakan. Di kota besar ini kasus tersebut
dan perampokan lazim terjadi. Aku
mendekati gang dan mengintip, tampak tiga orang anak muda sedang mengancam
seorang bapak-bapak. Ada yang kurus, berkumis, dan berjaket kulit. “woi!!! Siapa itu yang ngintip?!”
Apes!! Aku ketahuan. Mata
mereka sangat awas dan jeli membaca suasana sekitar “kajak keuno gam!! Bek
kaplung!”
Aku mendekati mereka sambil
mengusir jauh-jauh rasa takut. Jika mereka melawan dan menyerang akan kulayani
mereka. “Ngapain kau ngintip kami?! Ada urusan apa kau?!”
“Saya nggak ngintip kalian,
saya hanya melihat tidak sengaja”. Sahutku santai.
“oooo…..ulok sigam nyo.
Kapoh keudeh,cen”
Tiba-tiba si kurus maju dan
menendangku. Ku menangkap kakinya “hupp!”. Kukeluarkan teknik “Mawar lepas”
salah satu teknik bela diri perguruan pencak silat “Tapak Suci” yang kupelajari
di pesantren dulu, lantas kubanting dia ke tanah dengan keras .Bukk!
Selama di pesantren aku sudah mempelajari
silat hingga sampai sabuk biru kelas melati satu, jadi aku tidak gentar dengan
ancaman para pemalak ini.“ooo…..sudah keterlaluan ini! Serang, li!”. Si kumis dan si berjaket kulit menyerangku
sekaligus. Mereka benar-benar ingin
menghabisiku. Saat si kumis menyerang, aku mengelak lantas mengirim tendangan “ikan menggoyang sirip” ke pinggang si
berjaket kulit, dan dalam sepersekian detik ku membalik badan dan menendang
memakai teknik “harimau menutup jalan”ke ulu hati si kumis. Telak sekali.
Keduanya terpental dan mengeluh kesakitan. Ternyata segini doang kemampuan
mereka, tetapi berani malakin orang.
Tanpa kusadari seseorang
dari belakang hendak menyerangku. Si kurus! Ia bangkit dan menyerangku saat aku
lengah. Dia menggunakan senjata tajam. Aku menghindar, tapi terlambat. Ayunan
pisaunya merobek bajuku dan mengenai lengan kiriku. Darah segar mengalir
disitu. Aku mengiris . Saat si kurus hendak menyerangku lagi, tiba-tiba
datanglah bantuan. “itu mereka!! Tangkap!!” Para masyarakat mengejar mereka
setelah sebelumnya bapak-bapak tadi kabur dan meminta pertolongan mereka.
Ketiga pemalak tadi kabur. Kemudian bapak tadi mendekatiku “ayo berobat”
Di Rumah Sakit
Aku terbaring di Ranjang rumah
sakit. Lengan kiriku harus dijahit karena luka yang cukup dalam. “Terima kasih
banyak, nak. Sudah membantu orang tua ini. Untung ada kamu tadi menghajar
mereka.”
“gak papa, pak. Saya hanya
mencoba membantu semampu saya”. Sahutku.
“kau bercanda? Kau ahli
beladiri. Buktinya kau mampu melawan mereka sekaligus. Bahkan namamu sedang
viral di media. Lihat aku nampakkan beritanya”. Si bapak mengeluarkan
smartphone nya dan menampilkan judul berita disitu “SEORANG PRIA MENGHABISI
TIGA PEMALAK”
Aku tak menyangka akan heboh
sampai segitunya, aku tak dapat membayangkan bagaimana reaksi orang-orang
kenalanku nanti. Aku belum berani membuka Hp yang berbunyi dari tadi, pertanda
pesan masuk bertubi-tubi.
“biaya rumah sakit biar saya
yang biayai, kamu jangan risau. Saya masih berutang kepadamu mungkin akan saya
balas lain waktu”. Kata bapak itu.
“saya tidak harap apa-apa
pak. Saya membantu seikhlas saya.”
“sudahlah, jangan ditolak.
Bisa saya minta nomor hp-mu?”
“gak papa, pak. Saya ikhlas”
aku menolak sekali lagi.
“baiklah. Saya minta nomor hp
kamu saja. Mungkin ada hal-hal penting ke depan saya bisa minta tolong kamu.”
Aku menyebut nomor
teleponku.
“oke, terimakasih banyak.”
“sama-sama” kujawab.
Malam di kos
Malam itu aku berbaring di kamar
kosku. Aku sudah meminta izin cuti beberapa hari kepada atasan untuk istirahat
dan menyembuhkan diri. Aku masih tak bisa membayangkan bahwa 3 hari lalu aku
menghadapi 3 orang preman sendirian hingga namaku viral, bahkan banyak pesan
masuk dari orang yang kukenal terutama orang tuaku yang sangat mengkhawatirkanku.
Aku katakan pada mereka aku baik-baik saja tanpa memberitahukan luka di
lenganku.
Tiba-tiba ponsel berdering
dari nama tak dikenal. Aku ragu untuk mengangkat. Jangan-jangan yang menelepon
orang yang ingin mengucapkan selamat lagi. Sebenarnya aku malas dan bosan tapi
untuk menghargainya aku angkat, kemudian yang terdengar di telepon adalah suara
yang membuat hatiku berdesir “Assalamualaikum, akhi. Ta’afaitum?” (kamu sudah
sembuh?)
Suara halus diujung sana.
Aku tak akan pernah melupakan suara itu. Suara yang telah menghiasi sebagian
hidupku. “Waalaikumsalam. La yazal fil amaliyyah. Masih dalam proses. Ini Salwa, kan? Darimana dapat nomor ana?”
“Ciiee langsung bisa
menebak, jangan-jangan akhi masih ingat sama ana semenjak ketemu di Masjid Raya.”
Mukaku memerah. Kok aku bisa
ceroboh seperti ini? Aku merasa malu sudah berterus terang. “b…bu..bukan. Itu
karena tau suara aja. Soalnya enggak asing”
“ooo…begitu.”
“darimana Salwa dapat nomor ini?”
“Dari orang yang pernah akhi
tolong beberapa hari lalu sehingga membuat nama akhi terkenal”
“kok kamu bisa dapat nomor
itu dari bapak itu?”
“karena aku adalah anaknya”
Aku bagai kesetrum karena
kaget. Aku tak menyangka kalau aku menolong orang yang sangat berarti bagi Salwa. “Ayahmu kok bisa ada disini
bukan di lhokseumawe?”
“Ayah Salwa sedang ada dinas disini. Salwa tinggal di rumah kakek selama
kuliah bukan ngekos. Ayah yang ada dinas nginapnya ya disini.”
Aku baru tau itu. Tiba-tiba
keheningan tercipta sesaat. Kemudian Salwa mulai bicara pelan “Akhi?”. “iya” sahutku.
‘’ana ingin katakan sesuatu
sama akhi”
“apa itu?”
“Akhi tolong jujur apakah
selama ini akhi menyukai Salwa?”
Aku kaget mendapat
pertanyaan seperti itu. “Ana gak ngerti apa yang Salwa bilang”
“Ana tau akhi selama ini
pasti stalking kehidupan ana lewat media sosial apapun, ana ingin tau kejujuran
akhi saja.”
Aku terdiam. Aku tak tau
harus menjawab apa. Aku yakin dia akan menyadarinya suatu saat dan ternyata dia
mengungkapkannya sekarang.
“Akhi diam berarti itu
benar. Ana juga sebaliknya. Semenjak pertama kali bertemu di kelas waktu itu
ana sering menelusuri jejak hidup akhi sebagai motivasi bagi ana. Bahkan foto
akhi sampai ana print dan ana tempel sebagai penyemangat. Jujur saja saat sekian
lama berpisah dan akhirnya berjumpa di masjid
Raya, ana gak bisa menahan diri untuk tidak berjumpa dengan akhi, karena
ada sedikit rasa yang ingin ana ungkapkan yang belum mampu ana utarakan saat
itu”
Jantungku berdegup lebih kencang.
Jadi Salwa memikirkanku juga?
Sampai-sampai membuat fotoku sebagai penyemangat hidupnya. Melodi cinta
bersenandung di dalam jiwaku.
“Ana kasih kesempatan kepada
akhi. Jika akhi tolak, akhi akan menyesal seumur hidup, tolong
akhi tunaikan secepatnya”
“apa itu?” aku tambah
penasaran
“Ayah akan pulang lusa. Jadi
tolong hubungi dan jumpai ayah secepatnya!”
“untuk apa?”
“culik Ana! Khitbah ana
secepatnya! Jadikan ana istri akhi yang bisa melayani masa hidupmu”
“lho, Salwa?” Aku kaget luar biasa dengan gadis
bermata bening itu. Katanya runtun dan tegas. Setegas wanita palestina menyuruh
suaminya untuk berjihad di jalan Allah.
“cepat akhi! Kesempatan
tidak akan datang kedua kali! Kita akan merubah hidup. Kalau bisa akhi harus
menyambung pendidikan akhi setelah kita hidup bersama. Walau akhi
melanjutkannya di luar negeri ana tetap ikut. Ana sangat berharap kepadamu
datang sekarang juga, my moodbooster”
Aku laksana terbang. Aku
merasakan kebahagiaan luar biasa. Ternyata Allah tak pernah menelantarkan doa
hamba-Nya. Kebun-kebun kebahagiaan menari di pelupuk mataku disertai melodi
cinta yang terus bersenandung.
“Tunggu Aku Salwa. Gadis bermata beningku.” Ucapku sambil menutup telepon.
BERSAMBUNG
Assalamualaikum akhi, kalau boleh tau cerita ini terinspirasi dari kisah nyata ya?
BalasHapuswaalaikumsalam....cerita ini hanya fiksi. imajinasi penulis semata.
Hapus