Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERPEN : CALON KEPALA DESA



Tak lama lagi pemilihan calon Kepala desa di suatu desa akan digelar. Masyarakat sangat antusias menyambutnya. Di desa itu digelar semacam rangkaian ajang unjuk gigi untuk mengetahui mana yang layak dan pantas menjadi kepala desa ke depan. Salah satunya adalah diselenggarakan debat “CAKADES” atau Calon Kepala Desa (istilah ini dibuat-buat penulis ya). Kali ini, calon kepala desa ada 5 orang. Gastori nomor urut pertama, Syamsiar nomor urut dua, nomor urut tiga bernama Badrun, nomor urut empat bernama Zainul Abidin, dan terakhir bernama Debuluddin. 

Tak sabar masyarakat menunggu debat itu. Meski banyak orang yang tak paham, gerangan apa debat politik itu? Namun, mereka ingin tahu. Sebelum itu, Gastori si lintah darat yang mencalonkan diri menjadi kepala desa di urutan satu merekrut Abdul Rapi – orang paling berintelektual di desa itu – untuk menjadi TIMSES-nya sekaligus penasehat politiknya. Gastori meminta saran kepada Abdul Rapi bagaimana tampil memukau saat debat CAKADES nanti. 

“Pertama, saat berdebat nanti, Bos harus banyak memakai kalimat pasif, pakai kata kerja berawal di atau ter, persis pidato aikonik  Presiden Amerika dulu Jimmy Carter di depan para pengungsi Vietnam.” Timpal Abdul Rapi.

“Apa itu aikonik?” tanya Gastori. 

“Aikonik itu adalah hebat atau luar biasa, bos” jawab Abdul Rapi. Dia melanjutkan.

“Dan ingat, bos! Ini penting! Basa-basi sudah tak zaman. Basa-basi adalah sepupu munafik. Pepatah diam itu adalah emas sudah tak laku! Pepatah masa kini adalah bicara itu berlian! Maka, dalam debat nanti, bos harus agresif! Jangan kasih kesempatan orang lain bicara! Bos harus blakblakan! Katakan apa saja terserah! Masuk akal atau tidak itu urusan belakang! Yang penting rebut mik itu, serang lawan bertubi-tubi! Jika dia membantah, tengkar dia habis-habisan! Sampai dia menyesal dilahirkan di muka bumi ini! Pokoknya jangan sampai mik jatuh ke tangan orang lain! Ingat, bos! Siapa yang megang mik dia yang berkuasa.” Papar Abdul Rapi berapi-api. Gastori mencatat dan mengangguk-angguk.

Maka dimulailah hari itu. Debat politik calon kepala desa. Diantara kelima calon, moderator memberi kesempatan pertama kepada Syamsiar. Mungkin karena badannya terlalu kecil. “ Yang saya hormati si ini dan si itu.” Panjang sekali termasuk anak-anak, istrinya,mertua, serta tetangga hingga di stop oleh moderator. Lantas, dia berkicau bahwa dia pantas menjadi kepala desa karena sudah banyak pengalaman organisasi. Misalnya ketua RT, menjadi wakil ketua julo-julo bapak-bapak sedusun. Waktu masih sekolah – katanya – sering menjadi ketua OSIS. 

Dia juga mengaku pernah menjadi wakil ketua motor cross, koordinator pendaki gunung. Menjadi ini dan itu, berderet-deret, Gastori jengkel, langsung disambarnya mik dari tangan Syamsiar. 

“Omong kosong! Anda pendek! Pengalaman Anda pendek! Pikiran Anda pendek! Gigi Anda pendek! Gusi Anda pendek! Semua hal pada Anda pendek! Sebaiknya bicara Anda di-perpendek! Rakyat di-harapkan tidak di-perdaya oleh Anda! Wahai sidang pendengar! Mohon di-tulikan telinga saudara-saudara jika Syamsiar ini bicara! Sebab, jika dia ter-pilih menjadi kepala desa bisa-bisa rakyat berumur pendek!”

Setelah itu, Gastori pegang mik kuat-kuat. Tak mau menyerahkannya kepada siapapun, termasuk moderator. Jika ada orang bicara, dia langsung mendamprat orang itu habis-habisan. Badrun si peternak sapi. Calon kepala desa urutan tiga mencoba menengahi.

“Sebaiknya ajang ini kita jadikan kesempatan untuk bertukar pikiran”

“Tidak bisa! Kesempatan ini adalah untuk bertengkar! Bukan untuk bertukar pikiran! Kalau kau mau bertukar pikiran, pergi sana ke penasehat perkawinan!”

Para penonton tertawa terpingkal-pingkal.

“Yang aku tahu sapi-sapimu itu kurus! Kurang gizi! Ingat, Run! Sapi-sapimu adalah bantuan Presiden! Artinya amanah kepala negara telah ter-abaikan olehmu. Karena bukannya bekerja, kau terlalu sering bertukar pikiran! Lihatlah akibatnya, pikiranmu sudah ter-tukar dengan pikiran sapi-sapimu!”

Meledak tawa seisi kampung.

“bolehkah saya bicara?” kata Zainul Abidin. Calon Kades yang lain.

“Tidak bisa! Kalau bicara bicara aja yang keras! Suaramu pasti di-tangkap mik ini. Bagaimana desa bisa di-pimpin olehmu kalau bicara saja lembek!”

Debuluddin hanya bisa melongo di pojok itu, diam seribu bahasa, berdebu-debu. Tak lama kemudian terdengar bunyi geredak gereduk, mik menguik-nguik. Telah terjadi peperangan rebut mik. Para penonton saling memandang. Lalu terdengar bunyi nguing yang panjang.

Tak lama beberapa hari kemudian, setelah acara debat itu tak terdengar lagi kabar tentang Debuluddin. Lelaki berdebu-debu raib entah kemana. Dia tak bisa ditemukan karena memang tidak ada yang mencarinya. Sementara Syamsiar terkena stroke ringan gara-gara debat itu. Badrun bolak-balik ke puskesmas, tensi naik, detak jantung tak teratur. Jika ada yang menyinggung soal debat politik dekat Zainul Abidin, dia macam terkena penyakit angin duduk.

Adapun Gastori, berjaya bukan buatan. Lambang yang dipakainya untuk coblos nanti diganti dari gambar buah kelapa menjadi gambar mik. Tentu saja itu saran dari penasihatnya Abdul Rapi.

“Harimau tanpa belang bukanlah harimau, begitu juga Gastori. Gastori tanpa mik bukanlah Gastori. Gandhi dengan tongkatnya, Elvis dengan jubahnya, Bruce Lee dengan double stick-nya, Gastori dengan mic nya!”paparnya.

Maka sejak itu jika bicara di warung-warung kopi, Gastori selalu pakai mik. Dan benar saja. Jika bicara memakai mik, wibawanya meningkat drastis, wajahnya jadi terpelajar, senyumnya intelektual, pandangan matanya penuh analisis, kata-katanya buku, istilah-istilah nya canggih, orang-orang segan kepadanya. Dia sendiri kaget bagaimana istilah itu bisa keluar dari mulutnya saat dia memegang mik. Namun jika mik lepas dari tangannya, dia bego lagi.

Akan tetapi timbul masalah, dia tak punya panggung resmi untuk berbicara karena dia bukan siapa-siapa tapi hanya seorang juragan lintah darat. Dia hanya bisa berbicara di warung-warung kopi. Penasihat Abdul Rapi tak kehilangan akal, dia meminta Gastori membuat perlombaan serta menjadi sponsor utamanya supaya ia bisa berbicara sepuas-puasnya, pakai mik. Ide itu langsung dilaksanakan oleh Gastori. Dia merancang lomba yang kreatif supaya menarik perhatian orang.

Digelarlah lomba maraton, tapi hanya untuk orang tua berumur 60 tahun keatas yang kemudian ambulans sibuk sekali. Pertandingan pingpong dengan kaki terikat sehingga para pemainnya meloncat-loncat seperti pocong. Pertandingan sepakbola, tapi semua pemain matanya ditutup. Terpontal-pontal tak karuan. Setelah peluit panjang banyak yang benjol kepalanya.

Ada pula perlombaan berlari, juaranya adalah yang paling akhir mencapai garis finish. Disitulah kita melihat manusia berubah menjadi keong. Lomba karaoke sangat inspiratif karena yang juara adalah yang paling jelek suaranya. Ada juga perlombaan memetik gitar bass. Yang menang adalah yang dapat memutuskan senar gitar bass. Pertandingan itu tak ada juaranya karena tak mudah memutuskan senar bass. Lomba berteriak paling keras sampai toples kerupuk pecah juga tidak ada pemenangnya.

Terlepas dari hal itu semua, Gastori bertanya kepada Abdul Rapi bagaimana gaya foto yang layak untuk dipajang di berbagai tempat di penjuru desa. Abdul Rapi menyerahkan foto David Beckham dan menyarankan untuk gaya berfoto persis sepertinya. Menurutnya, gaya foto seperti itu memiliki daya tarik sendiri kepada orang-orang sehingga dapat memicu seseorang mengikuti jejak langkahnya. Begitulah analogi Abdul Rapi.

Maka, tak lama kemudian, foto calon kepala desa dipajang di balai desa. Tempat sentral di kampung itu. Foto Gastori paling top. Mirip poster David Beckham. Gastori berkaos polo merah dengan kerah berdiri, rambut dikumpulkan di tengah, lalu ditegakkan dengan bantuan sukarela minyak rambut Tancho hijau. Satu kata untuk foto Gastori itu: mendebarkan!

Foto Syamsiar macam orang kewalahan banyak hutang. Foto Badrun nyengir persis seperti sapi bantuan presiden yang dipeliharanya. Foto Zainul Abidin macam buronan yang lagi diuber-uber pihak berwajib. Foto Debuluddin, berdebu-debu.

Hari kampanye pun tiba. Meriah. Calon-calon kepala desa yang selama ini pelit minta ampun tiba-tiba berubah menjadi dermawan. Masa kampanye adalah musim berlomba-lomba beramal. Sekonyong-konyong desa dilanda rupa-rupa penyakit. Nelayan dilanda encok secara massal. Para pedagang sayur di pasar yang selama ini celah-celah kaki mereka dimakan kutu air, baru sekarang terpincang-pincang. Bahkan ada yang secara dramatis membalut kakinya sampai ke paha karena selama masa kampanye mereka tahu akan dapat obat bagus. Rakyat hanya boleh sakit selama masa kampanye. Saat kampanye orang-orang membawa poster bergambar Gastori dan David Beckham sambil berteriak “siapa yang pegang mik dia yang berkuasa!” Karena cukup panjang yang harus diteriakkan banyak yang membawa catatan dan melihat catatan itu sebelum menarik urat leher.

Bukan itu saja, Gastori memberi “sogokan”  kreatif kepada masyarakat. Di saat semua calon  menyogok dengan pembagian sembako, justru ia memberi baju polo berkerah dan kacamata gerhana matahari. Secepat kilat, sekonyong-konyong rambut dan kerah baju berdiri mewabah di desa itu. Wabah itu melanda siapa saja, petani, pekerja kebun, buruh, pedagang, guru-guru, anak-anak sekolah, nelayan, pengangguran, dan masih banyak lagi.

Kacamata plastik itu dipesan dari Jakarta, lalu dibagikan secara besar-besaran. Banyak yang memakainya sebelum gerhana. Mereka berkeliaran di pasar dengan kerah berdiri, rambut berdiri, dan berkacamata futuristik. Mereka seperti makhluk aneh dari planet jauh.

Singkat cerita, saat acara pemilihan dan dilakukan voting, tanpa disangka dan diduga nomor urut lima adalah pemenang calon kepala desa itu. Kok bisa lelaki berdebu-debu yang tak dipedulikan itu menjadi pemenang?. Dia adalah pengangguran kelas kakap yang ditinggali istrinya dan anaknya. Dia tidak pernah membuat kampanye atau semacam beramal kepada masyarakat karena memang dia tidak punya uang sama sekali. Dia menjadi kepala desa hanya ingin menumbuhkan kembali harga dirinya yang telah diinjak-injak walaupun tanpa persiapan apa-apa sama sekali. 

Ternyata masyarakat bosan dengan pencitraan-pencitraan politik yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya saat masa kampanye. Masyarakat ingin mencoba perubahan baru seperti yang dilakukan oleh Debuluddin yang tidak ada pencitraan apa-apa tapi diharapkan ada perubahan bagi desa.

Bagaimana dengan Gastori? Kalian bersyukur saja tidak sekampung dengannya karena penyakit lintah daratnya makin menjadi-jadi supaya dapat membayar kerugian yang dialaminya saat kampanye akibat kalah dari kancah politik.


Dikutip dari novelnya Andrea Hirata berjudul "pohon sirkus"

Posting Komentar untuk "CERPEN : CALON KEPALA DESA"