POTRET SULTANAH ACEH SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK
Berbicara tentang kepemimpinan perempuan masih diperdebatkan
hingga saat ini. Banyak orang tidak setuju dengan hadirnya perempuan sebagai
pemimpin di tengah masyarakat secara publik dan politik. Hal yang melatari
ketidaksetujuannya adalah factor agama, ideologi, hingga budaya.
Dari sisi
agama, mindset laki-laki sebagai
pemimpin berakar kuat di tengah masyarakat apalagi dilandasi oleh Al-quran dan
hadis. Dari sisi budaya, mereka memegang sistem patriarki yang memosisikan laki-laki
berada di kelas pertama sebagai pemimpin.
Indonesia
memiliki sejarah kepemimpinan perempuan. Setidaknya, kesultanan aceh pernah
dipimpin oleh empat Sultanah selama 60 tahun. Mulai dari tahun 1641 M hingga
1699 M atau bertepatan dengan tahun 1050 H hingga 1109 H.
Sri
Ratu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah merupakan perempuan pertama yang
menjadi pemimpin di kesultanan aceh yang memerintah pada tahun 1641 – 1675 M. Dia
memimpin untuk menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani. Sultanah Safiatuddin
merupakan anak dari Sultan Iskandar Muda. Saat itu Sultanah Safiatuddin baru
berusia 29 tahun. Sultanah pertama itu membentuk barisan perempuan pengawal
istana. Mereka merupakan bekas barisan sukarela Ketika pasukan aceh menaklukkan
Malaka pada tahun 1639 M. Mereka juga pasukan cadangan yang menjaga pantai dari
serangan Portugis.
Berikutnya,
kesultanan aceh dipimpin oleh Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah selama dua
tahun dari 1675 M hingga 1677 M. Namun sayangnya, tidak banyak catatan sejarah
mengenai kontribusi beliau selama memimpin mengingat sempit dan ringkasnya
beliau selama menjabat.
Tongkat
estafet kepemimpinan kesultanan aceh dilanjutkan oleh Sri Ratu Inayat Syah
Zakiatuddin Syah dari tahun 1677 M hingga 1688 M. Ia adalah seorang polyglot
yang mampu menguasai beberapa Bahasa diantaranya arab, Persia, urdu, spanyol,
dan belanda. Syarif Mekah pernah bertandang ke istana aceh untuk berdiplomasi.
Sultanah menerima tamu agung itu dibalik kain sutra kuning berumbai-umbai. Percakapan
dilakukan dengan Bahasa arab yang lancer.
Selanjutnya,
Sri Ratu Kamalatuddin Syah (1688-1699 M). Beliau dilengserkan dari jabatannya
karena menyusul surat dari Mufti Mekah atas ketidaksetujuannya mengangkat
perempuan menjadi pemimpin. Surat tersebut dirundingkan dan diputuskan bahwa
Ratu harus dimakzulkan. Tepat pada 20 Rabiul Akhir tahun 1109 H atau 1 oktober 1699
M, Ratu Kemalat Syah atau Ratu Kamalatuddin Syah dimakzulkan dari tapuk
pimpinannya dan digantikan oleh suaminya Syarif Hasyim.
Pengangkatan
Sultanah untuk memimpin kesultanan aceh bukan berarti tidak luput dari
kontroversi. Banyak terjadi penolakan dan polemik di tengah masyarakat karena
dalih agama.
Namun,
pada akhirnya melalui jaringan para ulama, dikirimkan surat ke mekkah untuk
meminta jawaban atas polemik yang terjadi selama enam dekade. Setelah datang jawaban
dari Mekah, kemudian diputuskan bahwa kepemimpinan perempuan harus dimakzulkan
karena bertentangan dengan syari’at.
Posting Komentar untuk "POTRET SULTANAH ACEH SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK"